Oleh : Irwan Z
------------------------
Cuaca yang sendu, halaman basah di tanah berbatu sore itu. Berugak mungil, bertengger anggrek, baru tersiram gerimis. Aku disambut bau tanah yang segar. Duduk di berugak, mengintip jingga yang indah.
" Kita akhiri saja, aku sudah jatuhkan pilihan, kalau aku tidak bisa bersamamu lagi," kata, Siska, perempuan dihadapanku di berugak itu.
"Kenapa? bukankah kita baik-baik saja, kau sangat bahagia siang tadi. Kau tanyakan kabarku dengan girang, tiba-tiba kau begini”
Hatiku bergemuruh, jantungku berdetak kencang lebih cepat dari biasanya. Seakan tidak percaya. Sirna aroma bau tanah, jingga tidak lagi terlihat menarik.
Mata Siska selalu memandangku dengan penuh kasih dan cinta, sore itu aku melihatnya berbeda. Walau begitu, aku masih merasakannya, ia sayang. Betapa tidak, beberapa jam yang lalu, begitu tulus menyapaku lewat ponsel.
Akan tetapi, sore itu aku menerima kenyataan kalau harus diakhiri.
"Kenapa Sis, kau berubah. Aku salah apa, katakan," mendesak Siska, menunggu alasanya.
Sedikitpun Siska bergeming, tubuhnya kaku, bibirnya gemetar matanya berkaca-kaca. Dari kelopak mata sayunya, menetas bulir air bening.
Aku melihat Siska masih mencintaiku, aku gembira, hatiku berbunga kembali. Ternyata Siska tidak serius ingin mengakhiri hubungan yang sangat dalam. Suka dan duka kami lalui, jalan bareng. Aku semakin yakin, tidak mungkin dia kubur secepat itu perasaanya. Aku jalani hubungan ini hampir delapan tahun. Pasti bercanda.
"Dengar saya, aku mencintaimu dengan sepenuhnya, aku sayang , sayang sekali. Kaulah segalanya, tapi.."
" Tapi apa ? aku memotong Siska begitu saja. Memegang tangannya yang mulai kedinginan.
" Dengar baik-baik, aku akan menikah. Hidupku sudah di ujung, aku ingin akhiri semua, aku mau bahagiakan orang tuaku, itu saja. Aku tidak peduli lagi pada siapapun, aku akan minta pada Tuhan kirimkan aku jodoh, tidak lagi menunggumu," suara sendu Siska yang membuat aku gemetar, dan membayangkan jika Siska akan benar-benar bersama orang lain.
" Oke Sis, kau tahu, aku ingin denganmu,” aku menyakinkannya.
"Kapan, sudahlah, aku semakin yakin kita penuh resiko dan mungkin tiidak pernah bersama, banyak perempuan bukan aku saja selama delapan tahun ini. Kalian bermain-main denganku, cukup sudah," sangat yakin Siska dengan kata-katanya.
Aku sadar, memang selama ini aku banyak teman, teman kantor, sahabat dan ada banyak perempaun. Mungkin Siska mendengar cerita kalau aku bersama perempuan lain.
Kau salah Sis, gumamku. Aku akan menjelaskan bukan seperti apa yang dipikirkan.
" Sis dengar aku"
" Sudah, tidak ada lagi yang harus dijelaskan. Aku lelah capek, pahami aku," keluh Siska tiba-tiba memeluk bersandar di bahuku, aku rasakan tangisannya begitu emosional. Aku terdiam dan tidak mampu bicara apapun
Aku belai rambutnya, rambut yang selama ini aku pandangi, aku berpikir mungkin ini pelukan dan belaianku terakhir. Apalagi Siska akan benar-benar pergi. Tidak, jangan pergi, kata yang berputar dikepalaku.
"Maafkan aku, aku lelah, aku cinta kamu, tapi aku harus pergi," suara lirih bercampur tangis.
Aku diam, mematung seakan ini akan benar-benar terjadi. Aku berencana akan meminang Siska dalam waktu dekat. Aku katakan berulang kali padanya. Tapi, situasi ini berbeda, orang tua Siska sakit-sakitan dia ingn melihat Siska menikah sebelum meninggalkan dunia ini, itu pinta ibunya. Berulang kali Siska mengatakan itu.
Dalam hatiku, mungkin dia benar, aku harus menerima, tidak boleh egois. Haruskah aku menyerah dan kalah. Terasa sakit, melepas cinta yang begitu dalam. Tapi, aku harus lakukan, dia memohon dengar air mata.
"Baiklah Sis, aku terima. Aku ikhlas kau tidak bersamaku lagi, terimakasih kau sangat baik telah mencintaiku, merawatku sekian tahun, salam sama ibu, aku pamit," hanya itu yang aku katakan, lalu bergegas berlalu meninggalkanya, melepas sandarannya dibahuku. .
"Maafkan aku," kata Siska samar terdengar, dan aku terus berlalu, memacu sepeda motorku, teman setia saksi betapa aku mencintai Siska.
-----------
Sepanjang jalan, aku mengingat kenangan dengan Siska, ruas jalan kenangan berdua. Hatiku teriris, perih.
Tiba-tiba ponselku berdering. Siska memanggil.
Aku terima, terdengar suara tangisnya.
"Maafkan aku, sampai kapanpun, aku doakan kau bahagia, dan relakan aku untuk orang tuaku, kasihani aku dan ibuku, kami di ujung," pinta siksa lalu menutup ponselnya.
Saya tidak mampu berkata apapun, lidahku keluh dan kaku. Aku berpikir harus ikhlas. Bukankah Siska sering pendam sakit hatinya selama bersamaku. Aku selalu menyakitinya. Aku tahu kenyataan itu di catatan hariannya, tertinggal di berugak suatu hari. Baiklah Sis, aku ikhlas dan mendokanmu bahagia. Aku berjalan dalam lamunan, liar imajinasiku, esok atau lusa , Siska akan lewati jalan ini bersama laki lain.
" Awaas, mobil," teriak lelaki paruh baya di pinggir jalan.
Tiba-tiba mobil pick up cat cream dengan kecepatan tinggi sudah di depanku, hanya itu yang aku ingat. Selebihnya gelap dan terdengar suara bising.
Ternyata, baru sadar aku mengalami kecelakan saat berada di klinik rumah sakit. Dokter setengah berbisik menyampiakan kabar ke keluargaku, kemungkinan aku akan mengalami cacat permanen.
Mendengar itu, sedikitpun aku tidak menangis, aku berpikir ini cara Tuhan memilihkan jalan hidup. Menyembuhkan rasa sakit, tidak melihat Siska bersanding dengan laki lain. Melepas beban deritnya selama ini. Aku harus hilang. Biarlah aku tertidur panjang, selamanya. Aku ingin membuka jalan bahagia untuknya, ibu dan keluarganya.
Aku dengar dari teman dekat satu kantornya, besok Siska akan menikah.
Beberapa jam ke depan aku ada waktu mengenang Siska, perempun luar biasa dalam hidupku.
Hari itu, hari yang dulu aku takutkan telah tiba. Itu dulu. Kini aku bahagia, saat melihat foto mesranya di pelaminan. Ia tersenyum lepas, aku berdoa hidupnya bukan lagi di ujung. (**)