CERPEN

Jingga

Blog Image
Ilustrasi lelaki menatap jingga/ Edmond Ken

CERPEN : WW SIDIK

“Apa hal yang paling gila yang kau lakukan seumur hidupmu?”

Aku diam. Hal paling gila? Kenapa dia tiba-tiba bertanya? Aku jelas manusia normal, untuk menyebut kebanyakan, yang masih menimbang banyak sebelum berbuat. Terlalu hati-hati. Ini sedikit di atas normal. Emosi itu bisa kukelola dengan baik sudah sejak SMA. Tuntutan alam, paksaan cerita hidup. Rasanya belum ada yang gila. Mencoba rokok atau hal lainnya  saat masih SMP menurutku masih normal.

“Sepertinya kau tidak pernah gila,” ia membalik-balik majalah yang ada di tangannya.

Aku hanya menggumam, “kau sendiri?” balikku. Aku tidak tahu ia segila apa. Tapi dia tampak normal. Sangat normal. Tipe kebanyakan yang menghabiskan waktu di tempat kerja Senin sampai Jumat sore, karaoke di Jumat malam, nonton bioskop di Sabtu malam atau keluyuran ke disco sampai pagi, lalu tidur seharian pada Minggu. Dia tidak akan jauh dariku. Normal, normatif.

Lihat saja dandanannya yang konservatif, anggun, cukup berkelas. Dia tidak pernah gila. Bukan tipe yang akan gila.

“Jatuh cinta,” jawabnya santai, masih tidak melepas mata dari majalah di tangannya yang hanya dibolak-balik. Aku yakin ia tidak membacanya.

Jatuh cinta? Bah, bagaimana jatuh cinta bisa menjadi gila? OK, cinta bukan cinta kalau tidak gila, aku pernah mendengar itu. Itu tidak masuk katagori seharusnya, karena semua orang juga begitu. Berdasar premis sebelumnya, siapa yang tidak gila kalau jatuh cinta?

“Kau tidak bisa menyebut itu gila,” sergahku.

Ia mengangkat kepalanya, menutup majalah di tangannya, meletakkannya di meja, lalu tersenyum manis padaku seraya berkata, “termasuk jatuh cinta kepadamu?”

Bumi berhenti berputar, berrotasi, berevolusi. Bumi kehilangan garis edar, gravitasi nol. Bumi akan menabrak bulan atau mungkin Venus atau Mars, mana saja yang terdekat. Komodo dan Gajah akan punah, manusia belum bisa menyelamatkan diri ke manapun. Kiamat segera datang…

Ia berdiri, masih tersenyum, “Kau memang tidak pernah gila,” desisnya. Ia melangkah pergi, menyibak keramaian malam itu dengan langkah ringan yang sedikit dipaksakan. Ia masih sempat menoleh, melihatku, sebelum menghilang.

Bumiku masih tak beraturan. Ledakan tadi itu masih terasa mengguncang. Entah berapa ton bom hodrogen dilepaskannya. Aku mematung tak mengerti dan tak bisa mengerti.

Namanya Jingga. Kuning kemerahan seperti matahari hampir tenggelam. Usianya mungkin baru tiga tahun ketika aku sudah mencium banyak perempuan dan membayangkan mereka bersamaku di tempat tidur. Dia baru masuk kelompok bermain, naik jungkat-jangkit, belajar menyambung garis membentuk huruf dan angka, mengeja namanya dengan benar, dan mulai merusak gigi susunya dengan menggigit terlalu banyak permen. Saat itu aku sudah bermain-main dengan terlalu banyak perempuan yang datang dan pergi seperti musim yang terus berganti.

Jarak kami cukup jauh, walau tidak sejauh Mars dan Venus. Tigapuluh tahun itu cukup jauh buatku. Seumuran Bapaknya, bisa jadi. Dan dia jatuh cinta padaku. Dia mendiagnosa: gila!

Positif. Ia gila. Aku harus mengakui itu gila. Bukan hanya karena jarak usia itu tapi juga karena dia tahu dan kenal istriku. Dia menyebutnya kakak. Tidak benar-benar kakaknya memang, tapi mereka bergaul cukup baik. Cukup dekat sampai mereka kerap bertukar oleh-oleh dari bepergian.

Kurang gila apa?

Apa tak punya perasaan? Tega betul dia mengkhianati ‘kakaknya’? Adik macam apa? 

Seperti jingga warna matahari hampir terbenam, ia membawa kesan pekat namun cemerlang, menarik penuh misteri. Laki-laki beristri sepertiku bahkan bisa dengan mudah tertarik padanya. Dia sangat mudah untuk dicintai. Aku tidak akan menyangkal itu. Tapi institusi bernama pernikahan itu punya pengaruh besar padaku. Dia benar, aku tidak akan bisa menjadi gila, bahkan meski ia tidak mengenal istriku.

Bahkan setelah dia tiba-tiba menciumku. Ia menciumku begitu saja di sebuah tempat tak terduga. 

Itu bom hidrogen lain yang membuat ledakan besar alam semesta, yang membentuk planet, juga galaksi baru. 

Aku tak bereaksi sama sekali, seperti seorang bodoh yang tidak paham betapa beruntungnya mendapat ciuman gadis muda yang tengah jatuh cinta. Manis asam seperti Strawberry. Lalu sekali lagi ia pergi meninggalkanku bersama senyumnya. Strawberry ini meninggalkan getir di ujungnya.

Aku hampir tak berani pulang. Rasa bersalah adalah satelit baru yang diciptakan ledakan dahsyat itu. Rasa bersalah pada istriku yang disebutnya kakak itu. Tapi bukankah seharusnya aku tidak perlu merasa bersalah? Aku toh tidak bereaksi, membalas ciuman strawberry itu. Tapi ada satelit lain bernama rindu yang tercipta begitu saja. Satelit lain ini adalah memikirkannya siang dan malam. Mencarinya, menunggunya, tapi takut menemukannya.

Gila. Itulah.

Tapi aku sepertinya tidak perlu mendapat label gila. Kau tahu, laki-laki secara alami memang tercipta seperti itu. Tidak hendak membela diri, hanya saja laki-laki begitu spesial diberkahi hasrat semacam ini. Cuma dibatasi adil. Adil yang adalah rasa, yang begitu abstrak, yang adalah subjektif, yang adalah sulit. Adil yang dapat kau bela atau benarkan.

Aku menolak gila. Ini bukan gila. Tapi aku terus memikirkannya, bahkan merasa kosong bila tidak melihatnya. Aku membuat banyak alasan untuk menemuinya. Dan punya lebih banyak alasan tak pulang ke rumah.

Lalu ini berkembang menjadi benar-benar gila ketika aku tidak ingin berada sedetikpun jauh darinya. Ketika aku ingin melihatnya tersenyum di pagi hari ketika aku terbangun dari tidur. Ketika aku ingin ia menyeduhkan kopi untukku dan membawanya dengan masih mengenakan baju mandi. Ketika setiap jengkal tubuhku diliputi sensasinya.

Aku bahkan tidak pernah merasakan itu untuk istriku, bahkan walau kami pernah berjanji sehidup semati. Ini benar mulai gila. 

“Aku tidak mau menjadi istrimu,” ia menggeleng, tetap dengan senyumnya. “Aku ingin melengkapimu, tapi tidak dengan menyakiti orang lain.”

 Tapi dia menyakiti, menyiksaku. Lalu untuk apa dia gila seperti ini, dan menyeretku dalam kegilaan juga? Ini tidak benar.

Hah, aku bicara ini tidak benar seolah ada bagian benar dari jalan yang tengah kupilih ini. Di mana salahnya? Maksudku kebenaran dari salah, atau kesalahan dari kesalahan, atau apalah namanya. Di mana semestinya jalurnya? Akan ke mana muaranya?

“Bukannya aku tidak mau menjadi istrimu. Tapi coba kau pikir apa yang harus kukatakan pada istrimu?”

“Kau tidak perlu berkata apa-apa,”

“Jadi aku harus apa?”

“Tidak ada,” aku mulai ragu.

Dia menarik nafas panjang lalu membagi senyum, lagi, seolah bibirnya tidak letih tertarik ke atas. Ia tampaknya tidak khawatir dengan garis senyum yang akan meninggalkan jejak kelak ketika usianya terus bertambah-tambah.

“Tidak akan ada dia,” aku kehilangan ekspresi.

“Kau akan menceraikannya?”

Aku tidak berkata. Tidak menggeleng. Tidak mengangguk. Kosong. Gadis itu tidak berkata. Tidak tersenyum. Diam. Membeku. Alam Semesta kehilangan waktu.

~***~

Perempuan diciptakan untuk melengkapi laki-laki. Karenanya Hawa diciptakan di surga menemani Adam. Membujuknya memakan buah larangan, menjerumuskan keduanya ke bumi. Membuat mereka memahami cinta, kehilangan, juga perjuangan.

Perempuan diciptakan untuk melengkapi takdir seorang laki-laki. Menggenapinya. Tapi sebagai manusia, halnya perempuan, laki-laki akan menjadi lengkap ketika telah mati. Siklusnya menjadi sempurna setelah ia mati. Lahir, bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, bereproduksi, tua, lalu akhirnya mati. Tidak semua sepanjang itu, tapi kematian selalu di ujung, membuatnya titik.

Gadis itu ingin melengkapiku, katanya. Ia mungkin ingin membunuhku. Dan ini cara yang dipilihnya. Membunuhku perlahan dengan ciumannya. Ia adalah Poison Ivy, menebar kematian dengan ciuman beracun.

Aku akan melakukan hal sama padanya. Karena aku sudah tidak bisa jauh darinya. Ia melengkapiku, aku melengkapinya. Sudah seharusnya cinta seperti itu, bukan? Dan cinta tidak pernah cinta bila tidak gila. Karena dia sudah gila, kemudian aku pun menjadi gila, mari buat ini menjadi nyata. Karena dia dan aku sempurna. 

 Kau ingat Romeo dan Juliet? Mereka saling melengkapi. Begitulah, aku akan mengkopi paste Shakespeare. Semoga ide itu tidak dipatenkannya agar aku tak perlu membayar royalti.

Gadis itu akan menemuiku hari ini. Aku sudah menyiapkan semuanya, termasuk pemakaman yang indah nantinya. Sedang kematian itu sudah kusiapkan di mulutku.

Tapi istriku duduk di situ, di tempat seharusnya Gadis Strawberry itu duduk, tersenyum. Ada sebuket bunga di atas meja di hadapannya. Matanya cemerlang seperti pagi yang baru tiba. Melihatku datang is bangkit, menempelkan bibirnya di pipiku.

“Happy anniversary,“ bisiknya lembut, “apa yang kau siapkan untukku?“ tanyanya kemudian. 

Ah!! Aku bahkan tidak ingat ini anniversary kami. Aku menyiapkan kematian yang indah untuk Aku dan Jingga, tak ada untuk anniversary. Aku bahkan tiba-tiba tak ingat kami sudah berkeluarga berapa lama. 

Lidahku kelu, kepalaku mulai kekurangan oksigen. Istriku masih tersenyum penuh misteri, seolah ia adalah Monalisa pada lukisan Da Vinci. Racun cinta itu bekerja padaku. Sebelum kehilangan kesadaranku melihat Jingga datang, berpelukan dengan Istriku dan melihat padaku dengan sebuah senyum kemenangan. Saat itu aku tahu ia benar-benar bermaksud melengkapiku seperti ini, tanpa menyakiti orang lain kecuali diriku sendiri. 

~***~

Recent Post

blog image
UMUM

Menteri Komdigi Berjanji Bakal Dukung Ekosistem Digital di NTB

SATUNUSA.CO, Jakarta-Digitalisasi di daerah dan blankspot menjadi topik yang dibahas Gubernur NTB Terpilih Dr H.L.Muhamad Iqbal (LMI) ketika bertemu Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya ...

blog image
KESEHATAN

Terobosan Atasi Tunggakan Iuran, BPJS Kesehatan Sempurnakan Program Cicilan dan Endowment Fund

SATUNUSA.CO,JAKARTA - BPJS Kesehatan terus berinovasi dalam memberikan kemudahan bagi Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang memiliki tunggakan iuran. Sebagai langkah strategis, BPJS Kesehat...

blog image
PEMERINTAHAN

Fokus Group Diskusi Bicara Pemerintahan Smart

SATUNUSA.CO- LOTIM-  Mengawali bulan Februari, Pj Bupati Lombok Timur  H. Muhammad Juaini Taofik menjadi narasumber pada kegiatan Kopi Darat (Kopdar) Fokus Lombok Timur dengan tema &ldquo...