CERPEN : ANI DS
Sejak pertama melihat laki-laki itu aku berfikir ada yang tidak biasa pada tatapannya. Bukan, bukan tentang caranya menatapku yang terang memancarkan hangatnya, melainkan tentang sebelah matanya yang begitu indah.
Aku menyebutnya indah karena sebelah matanya seperti terbuat dari ribuan kaca berwarna. Setiap kali menatapnya aku mencoba menghitung warna yang terdapat di sana. Tentu saja selalu gagal. Aku hanya bisa menatapnya sekian detik agar tidak jengah. Aku khawatir ia menyadari seseorang yang sedang berada di hadapannya sedang menghitung sesuatu di sebelah matanya. Lalu hal itu akan segera membuatnya tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan bertanda curiga.
Pernah aku mencoba menghitungnya ketika tengah mengenakan kacamata hitam yang menyembunyikan arah mataku. Tapi cara ini tidak juga berhasil karena begitu banyak warna yang ada di sana, membuatku nyaris merasa buta warna. Akhirnya aku mengalah daripada menjadi buta warna sungguhan hingga tidak bisa membedakan dua puluh ribu dan lima puluh ribu rupiah. Kau tahu betapa ruginya manusia jika tak bisa membedakan uang kertas dua puluh ribu dan lima puluh ribu, bukan?
Biarpun sudah begitu tetap saja setiap kali aku melihat mata itu aku terpesona pada banyak warna yang ada. Sebelah mata itu membuatku sering abai melihat satu mata lainnya yang berwarna hitam pekat. Sebelah mata tajam yang hangat dan membuatku selalu ingin tersenyum melihatnya. Dengan mata itu, mungkin saja ia sering menatapku tanpa kusadari.
Tentang mata hitam itu, sama saja dengan mata coklat atau abu atau hijau atau biru milikmu. Tidak ada yang terlalu istimewa kecuali kehangatannya. Tapi bagiku itu tidak menarik. Hanya mata kaca berwarna seribu itu yang membuatku betah berbicara padanya sambil sesekali melihat ke dalamnya.
Pada suatu waktu, karena kecerobohan mataku, ia tersadar juga. Bukannya bertanya apalagi marah pada mataku, ia hanya tersenyum. Lalu berceritalah ia tentang sebelah matanya yang membuatku selalu bertanya.
Ketika ia pertama kali jatuh cinta, seorang perempuan menjatuhkan cinta yang sarat padanya. Sarat dengan perhatian, kasih sayang dan cemburu berganti-ganti sama banyaknya. Cinta yang menjalar berurat akar di hidupnya. Sampai perempuan itu tidak lagi mencintanya untuk cinta melainkan memuja cinta itu sendiri.
Cukup jauh ia menjalani hubungan dengan cinta sarat si perempuan. Sampai suatu ketika perempuan itu divonis mati oleh dokter. Hidup perempuan itu lalu bergantung pada mesin yang menyedot dan mengisi ulang arterinya dengan darah berlimpah oksigen. Wajahnya lalu berubah seputih bidadari. Warna putih itu juga tinggal di sebelah matanya, membuat penglihatannya hanya putih seperti awan. Awan ada di mana-mana, termasuk di wajah laki-laki yang dicintainya. Tak ada yang sempurna ketika tertutup awan. Tak ada yang indah ketika tertutup awan.
Setengah hidup dan pengelihatan tertutup awan, apalah lagi yang tersisa. Hanya cinta mungkin. Tapi cintanya juga terlihat berawan. Perempuan itu putus asa. Ia tidak bisa hidup seperti itu sementara laki-lakinya sehat dan bugar, mungkin berbahagia. Lalu ia menyerah, menolak menemui mesin pemberi darah segar itu. Membiarkan wajah bidadarinya berubah kelam dipenuhi bisa dari dalam tubuhnya sendiri.
Jeda. Lama. Ia tak berkata, aku menunggu diam.
Laki-laki itu mengambil rokoknya, membakar dan menghisapnya perlahan, tenang. Ia menelan sebagian asapnya dan menghembuskan sisanya. Aku menatapnya dari pusaran kabut putih yang menghilang perlahan. Ia menghisap lagi. Sebelah matanya seolah mengikuti kepergian asap rokok yang lenyap dibawa angin.
“Lalu mengapa matamu seperti itu?” tanyaku tak sabar.
Ia terkekeh, menghisap rokoknya lagi, membiarkanku penasaran.
“Kau mirip dia,”
Aku? Apanya yang mirip? Lantas?
“Posesif dan tidak sabaran,” ujarnya seraya menjentikkan abu yang sudah lumayan panjang di ujung rokoknya.
Apa haknya menilaiku? Sok tau betul dia. Aku memonyongkan bibir. Dia terkekeh lagi.
“Tapi matanya lebih sering kosong,” Laki-laki itu menghisap lagi rokoknya, “sedang matamu bersinar hidup. Kau begitu mencintai hidup.”
Bukankah seharusnya ia bercerita tentang perempuan yang menyebabkan matanya berkaca warna-warni itu?
“Tak baik buatmu terlalu mencintai hidup,” celanya.
Nah, ia mencampuri hidupku sekarang.
“Aku hanya mencoba mengingatkan, sebagai orang yang lebih dulu tua.”
“Lalu apa yang terjadi pada perempuanmu?”
“Bukankah sudah kubilang ia terbang ke langit sebagai bidadari?”
“Bidadari yang disengat bisanya sendiri?”
Laki-laki itu mengiyakan, “sebelah mataku telah kuberikan padanya.”
Aku mengernyit.
“Aku ingin ia bisa melihat keindahan surga dengan dua mata yang baik,” laki-laki itu menerawang, “lagi pula tak pantas bidadari bermata sebelah, bukan?”
“ya, yang pantas itu bajak laut. Sebelah mata untuk menangkap perasaan gelombang. Apakah Kau teramat mencintainya,” dakwaku.
Ia tertawa pelan, “ketika menemukan cinta kau akan berfikir itu yang pertama dan terakhir sekaligus,” menghirup udara kosong, “tak banyak orang beruntung seperti aku.”
“Lalu ibuku?”
“Dia ibumu…”
Aku mengambil rokok laki-laki itu, mematah-matahkannya lalu menaburkan serbuk tembakau di hadapannya. Ia hanya diam memandangiku.
“Karenanya kau ingin lekas pergi juga?”
“Rokok tidak bisa membunuhmu. Bukan rokok yang mematikan orang,”
Laki-laki ini sama saja dengan para perokok lain, yang mengagung-agungkan tembakau.
“Hanya pengkhianatan yang mengakhiri hidupmu.”
“Kau mengkhianati ibuku?”
Laki-laki itu tersenyum menggeleng. Tidak ada emosi di wajahnya, juga mata hitamnya. Mata kaca penuh warnanya berkabut, berawan. Lalu laki-laki itu meninggalkanku di beranda sendirian, menikmati sisa malam yang semakin dingin.
Tak banyak yang bisa kukatakan. Tapi laki-laki dengan sebelah mata yang penuh kaca berwarna itu bapakku. Aku menemukannya tahun lalu, setelah pencarian teramat panjang dan menguras emosi. Ya, aku yang menemukannya, ia tak pernah mencariku. Bapak yang tidak peduli kelahiran juga keberadaanku tapi menyambutku hangat dan menghipnotisku dengan sebelah mata kaca berwarnanya. Mata yang membuatku lupa banyak pertanyaan penting yang harus kuajukan padanya.
Dan laki-laki itu akhirnya pergi karena dikhianati keyakinannya pada tembakau. Karena dikhianati jantungnya, dikhianati otaknya. Ia mati.
Kau bertanya tentang mata indahnya itu? Mata itu menghilang, menyisakan hanya kegelapan di liangnya. Mata itu seolah lenyap begitu saja, seperti hadirnya yang begitu saja.
Menurut cerita laki-laki itu, beberapa malam setelah kematian istrinya yang adalah ibuku, ia bermimpi perempuan dengan cinta sarat itu datang padanya. Perempuan itu menemuinya, membawakan sebelah mata yang begitu indah. Konon mata itu dari surga. Perempuan itu memasangkan sebelah mata dari surga pada liang tempat mata yang telah diserahkan. Mata itulah yang tinggal sampai ia terbangun.
Tidak seperti kelihatannya, mata itu tak membuat apa yang dipandangnya indah. Tapi mata itu bisa menjadi penghubungnya dengan cinta pertama dan terakhirnya. Mata itu adalah surganya.
Mata itu mungkin kini kembali ke asalnya, surga, atau menghilang begitu saja karena telah berhasil menyelesaikan tugas untuk seorang laki-laki yang mati karena dikhianati nikotin, jantung dan otaknya. Atau mungkin ia salah, kematian tidak disebabkan pengkhianatan, tapi menjadi konspirasi semesta sebagai penebus energi kosmos yang telah dipinjamnya. Demi sebelah mataku, aku lebih percaya itu. ( ***)