Oleh : LAELY N
SUDAH pukul satu lewat tigapuluh menit. Para pegawai masih lalu lalang, sibuk. Seorang perempuan, Rohmi namanya, terlihat menyapukan pelnya menyeka debu yang ditinggalkan sepatu beraneka model dan warna para pegawai itu. Sepatu bermerk beharga mahal dan selalu bersih mengilap. Ia menyeka debu-debu yang bisa membuat tergelincir. Menyelamatkan pemakai sepatu-sepatu itu dari sakit dan malu. Apa yang lebih sakit dan malu dari tergelincir di lantai kantor dengan sepatu berhak tinggi disaksikan orang ramai hilir mudik?
Perempuan itu dengan tekun menyeka debu-debu, membungkuk seolah mencari setiap butiran agar tidak ada yang lolos. Rohmi lebih sering menunduk, hanya melihat kaki dan sepatu. Ia tidak mengenal wajah, hanya bunyi sepatu beradu lantai, dengan suara pemiliknya sesekali.
Banyak sepatu istimewa tersimpan di ingatannya. Sepatu yang sering melintas di jalur kerjanya ini. Tapi banyak pula yang hanya lewat sesekali. Satu dua kali saja, lalu menghilang. Tidak berulang pekan hingga bulan berikutnya. Rohmi senang melihat sepatu-sepatu itu di pagi hari, saat udara masih segar tapi banyak yang berlari terengah karena mengejar apel pagi, mengejar absensi. Lebih banyak sepatu bersih di pagi hari. Tapi semua sepatu menarik bagi dirinya yang hanya punya satu sepatu karet. Banyak sepatu yang bisa dilihat setiap hari, meskipun tidak semua bisa diingat.
Beberapa saat lalu melintas sebuah sepatu coklat dari kulit sintetis berhak sekitar tiga sentimeter dengan pita coklat tua. Pemiliknya bertelapak cukup panjang, ukurannya 40. Kakinya yang putih bersih terawat mungkin sama licin dengan wajahnya. Mungkin. Perempuan penyapu itu tak pernah melihat wajah. Langkah pemilik sepatu itu selalu berakhir di bagian hukum.
Sebelumnya sepasang sepatu pantofel hitam berukuran 41, dengan hak dua sentimeter. Pemiliknya, seorang laki-laki yang sering mengenakan celana dengan ujung sedikit lebar. Langkahnya ringan seperti melayang di udara. Pemilik sepatu itu bisa terlihat di mana saja. Lalu sepasang sepatu perempuan berujung runcing melintas dengan langkah sedikit diseret. Ada aksen kristal berbentuk bunga di tengahnya. Sepatu itu sedikit berdebu hari ini. Biasanya hitamnya mengilap. Mungkin pemiliknya yang berkaki kecoklatan itu tengah malas. Atau dia baru saja turun lapangan. Itu salah satu sepatu yang tersimpan rapat diingatan Rohmi.
Sepatu lain yang melekat diingatannya adalah sepatu olah raga yang dikenakan anak seorang pegawai. Sepatu berwarna putih dengan sebuah tanda cek atau bumerang atau apalah yang serupa itu. Sepatu yang sangat sederhana. Sepatu itu lekat diingatannya karena anaknya, Romdi, pernah menunjukkan sepatu serupa yang menjadi mimpinya. Sepatu yang gambarnya diambil dari sebuah majalah. Gambar itu dijepit Romdi dengan sebatang tusuk gigi di samping cermin, dipandangi setiap saat. Anak kelas tiga SMP itu bahkan bekerja keras, menabung untuk membelinya. Sudah sebulan ia mengumpulkan uang di celengan ayamnya.
Sepatu itu membuat Rohmi selalu teringat Romdi yang mengerjakan apa saja tanpa lupa tugas rumah atau sekolahnya. Anak semata wayangnya begitu mendamba sepatu itu. Seringkali ketika melihatnya memandangi gambar sepatu di samping cermin, Rohmi menitikkan air mata. Romdi tak pernah menginginkan apapun sejak kecil. Ini adalah pertama kali ia mengingkan sesuatu. Sesak bagi seorang tua tak bisa mengabulkan keinginan buah hatinya.
Ah… Mata Rohmi basah setiap kali mengingatnya. Tak ada sepatu lain yang membuatnya menghentikan kerja lalu menarik nafas berat. Minggu ini sepatu itu berulang kali bolak-balik seolah menguji hatinya. Entah ada urusan apa anak itu ikut Ibunya ke kantor. Pemilik sepatu itu adalah putra seorang karyawan di bagian keuangan. Rohmi hapal sepatu ibunya. Pernah dua tiga kali ia diminta membersihkan ruangan keuangan. Ia melihat sepatu itu di sana.
Perempuan penyapu itu hapal banyak kaki dengan sepatunya. Dengan langkah dan persoalan yang mungkin tersembunyi di baliknya. Sesekali ketika mengangkat wajahnya dari lantai ia juga bisa melihat hingga pinggang atau dada. Ia tidak pernah mengangkat mata hingga menyentuh wajah orang berlalu lalang itu. Enggan dan merasa tidak pantas. Ia hampir tak pernah mendongak selama bekerja.
Sampai seseorang menyapanya.
Seorang perempuan bersepatu hitam runcing ukuran 39 dengan hak lima sentimeter berkulit kuning. Sepatu yang diketahuinya ketika menyapu lantai di sekitar tangga. Sepatu itu selalu dilihatnya sampai di situ. Pernah sekali perempuan itu melihatnya di ujung koridor tempat bos besar berkantor. Hanya sekali. Selebihnya ia hanya sampai tangga di ujung lain koridor tempatnya bertugas. Mungkin kantornya di lantai atas. Satu, atau dua lantai paling jauh, karena tidak mungkin lebih tinggi lagi. Untuk lantai lebih tinggi orang-orang lebih memilih menggunakan elevator.
Perempuan itu menyalaminya, bahkan memeluknya. Tidak ada seorang pegawaipun yang pernah melakukan itu padanya. Siapa yang peduli, meski ia menyelamatkan kaki mereka dari tergelincir.
“Mbak mau nggak kalau saya bawakan sepatu?” perempuan itu menanyainya.
Rohmi semakin terkejut. Ia mengangkat wajahnya lebih tinggi. Didapatinya wajah perempuan itu cantik. Cantik begitu saja meski tidak banyak berdandan. Kulitnya kuning dengan garis tegas di rahang. Dan wajah itu hangat, tersenyum. Sekilas ada khawatir dalam rautnya.
“Sepatu anak saya sudah tidak muat lagi. Anak-anak sekarang tumbuh terlalu cepat,” ujarnya, “sayang baru dipakai beberapa kali,” imbuhnya cepat.
Perempuan penyapu itu mengangguk setuju dan tersenyum takut-takut.
“Terimakasih, bu, saya mau saja kalau dibawakan,”
Perempuan itu menarik bibirnya lebar, senang dan lega, “besok saya bawakan kalau begitu. Saya lihat ada yang cocok untuk Mbak.”
“Baik, bu. Semoga tidak merepotkan.”
Perempuan cantik itu menggeleng, lalu meninggalkan ujung koridor menaiki tangga. Perempuan penyapu itu mengikuti dengan matanya sampai ke puncak tangga, sampai perempuan itu menghilang.
“Sst!”
Rohmi berpaling. Ada penyelianya yang menatap keheranan. Perempuan penyapu itu mengangkat kedua bahunya lalu melanjutkan menyeka debu-debu. Penyelianya dikenal terlalu senang turut campur. Lebih baik ia kembali bekerja agar tidak ditanyai macam-macam. Perempuan itu bekerja seperti biasa hingga seluruh pegawai pulang dan koridor koridor lengang, lalu pintu dikunci.
Keesokan harinya benar ia dibawakan sepatu oleh perempuan cantik yang memeluk menyalaminya itu. Tidak saja sepasang, tapi tiga. Sepatu sepatu cantik yang sederhana tapi dibuat dengan bahan yang bagus. Warnanya juga cocok untuknya. Segera dicobanya ketika sampai di rumah.
“Sepatu itu cocok semua di kaki ibu,” komentar Romdi. Anak laki-laki itu diam sebentar mengamati Ibunya. Wajahnya seolah berpendar ikut senang. Kalimat, juga wajahnya membuat perempuan itu tertunduk diam. Diam dan merenung sampai anak laki-laki itu berlalu berpamitan.
“Sepatunya cocok, Mbak?”
Pertanyaan itu dilontarkan perempuan cantik sekitar tengah hari ketika waktu istirahat. Perempuan itu berpapasan dengannya di pintu masuk.
Perempuan penyapu itu mengangguk malu-malu, “sepatunya bagus sekali, bu.” Ia merasa seolah terpergok melakukan sesuatu yang buruk hanya karena tidak memakai sepatu pemberian perempuan cantik itu.
Perempuan cantik itu berlalu dengan senyum samar.
Ah, mungkin dia kecewa karena sepatunya tidak langsung dipakai. Bagaimana mungkin ia akan memakai sepatu itu bila anaknya masih belum mendapatkan sepatu yang dicita-citakannya? Tidak pantas. Tidak tega. Bagaimana kalau dijual saja sepatu-sepatu pemberian ibu cantik itu. Rasa-rasanya harganya masih bagus. Mungkin cukup menambah tabungan anaknya. Tapi tidak enak juga bila tidak memakai sepatu pemberian perempuan cantik itu. Nanti bila bertemu apa jawabnya jika ditanya perihal sepatu-sepatu itu lagi? Apa akan dimengerti bila dijelaskan? Betapa tidak tahu terimakasih. Atau dia bisa menyisakan satu untuk dipakai dan selebihnya dijual saja? Begitu sepertinya tak apa.
Akhirnya dikenakan juga salah satu sepatu itu keesokannya. Anak lelakinya tersenyum tatkala melihat sepatu di kaki Ibunya.
“Sepertinya tabungan saya sudah cukup membeli sepatu baru,” Romdi menambahkan kemudian.
Sementara mata anak lelakinya berbinar, mata perempuan itu menggenang, namun ia riang berangkat kerja dengan sepatu baru. Dua sepatu lainnya akan dibawanya ke pasar hendak dijual untuk menambah tabungan, membeli sepatu impian anak laki-lakinya.
Ketika pulang dari membersihkan kantor megah itu, Romdi sudah di rumah, menantinya sambil menghadapi sebuah kotak. Kotak diletakkan di atas dipan sementara anak itu duduk menghadapnya di lantai. Ada senyum di bibirnya.
“Assalamualaikum,”
Seketika Romdi berdiri memeluknya. Anak itu kemudian mengangsurkan kotak dan segera mengeluarkan isinya. Disodorkannya sepasang sepatu putih yang tampak sama dengan gambar di samping cermin. Perempuan itu membulatkan matanya, senang dan takjub.
“Pakailah.”
Romdi mengangguk. Dikenakannya segera sepatu itu lalu berjalan, melompat, dan menari. Rohmi menitikkan air mata. Haru dan bangga.
**
Rohmi hari ini ditugasi membersihkan ruangan bos besar. Petugasnya yang biasa sedang sakit, jadi ia yang menggantikan. Rungan itu sangat luas. Beberapa barang pribadi bos besar disimpan di ruangan itu. Selain jas dan mantel, ada pula beberapa sepatu. Satu diantaranya terlihat seperti milik putranya. Rohmi terbelalak karena sepatu itu benar-benar sama dengan milik Romdi. Rohmi semakin terkejut ketika melihat ada sebuah stiker bergantungan di sepatu itu. Rupanya sepatu itu belum dipakai. Disitu tertera sederet angka berjumlah tujuh. Angka paling depan adalah angka besar.
Semahal itukah harganya? Sebanyak itukah uang yang dibelanjakan Romdi? Kerja apa yang memberinya uang begitu banyak hanya dalam satu bulan? Peghasilan dari serabutan apa yang bisa berlipat-lipat gajinya sebagai buruh penyapu, yang hanya melihat sepatu? Rohmi menggeleng tak percaya. Sekeras apa sesungguhnya Romdi bekerja? Rohmi tetiba tidak percaya. Rohmi berkali-kali menggeleng, tidak suka dengan pikiran yang berkelebat dibenaknya.
Ketidakpercayaan Rohmi dibawanya sampai ke rumah. Ketidakpercayaan itu ditambah resah saat melihat warga berkerumun di depan rumahnya. Ia merasa ada yang tidak benar. Dipercepatnya langkah lantas menyibak para tetangga yang selalu ingin tahu itu.
“Anakmu, Romdi dibawa polisi,” seseorang berteriak, membuatnya urung melanjutkan menuju pintu rumah.
Ada ketua RT menunggu persis di depan pintu. Melihat wajah keruh ketua RT itu Rohmi merasa tanah bergelombang dan matahari terbenam dimakan atap rumah. Ia hanya berani menunduk melihat sepatu yang dikenakannya. Sepasang sepatu bekas, pemberian ibu pegawai cantik.
**
( satunusa.co,menerima karya Sastra berupa cerpen dan puisi, kirim ke email : satunusaco@gmail.com. Setiap karya dipost. akan diberikan imbalan dan souvenier sepantasnya.)